This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 22 Februari 2019

HIPERBILIRUBINEMIA


Defenisi Hiperbilirubinemia 

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi. Tingginya kadar bilirubin yan dapat menimbulkan efek patologi pada setiap bayi berbeda-beda. Dapat juga diartikan sebagai ikterus dengan konsentrasi bilirubin, yang serumnya mungkin menjurus ke arah terjadinya kernicterus bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.

Ikterus yang kemungkinan menjadi patologi atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia adalah : a. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
d. Ikterus yang disertai berat badan kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah. (Surasmi dkk, 2002)
Hiperbilirubinemia juga disebut ikterus neonatorum. (Sinclair, 2009)

Insiden
Enam puluh persen bayi cukup bulan dan delapan puluh persen bayi kurang bulan mengalami ikterus. (Sinclair, 2009)

Klasifikasi 
a. Ikterus fisiologis Ikterus fisiologi biasanya dimulai pada usia dua sampai tiga hari (3-5hari pada bayi yang disusui). Ikterus dapat terlihat diwajah bayi ketika sadar dalam serum mencapai sekitar 5mg/dL.ikterus ini bisa terlihat pada abdomen tengan jika kadar bilirubin kurang lebih 15 mg/dL, dan di tumit kaki jika kadarnya sekitar 20mg/dL. pada hari kelima hingga ketujuh, kadarnya berkurang menjadi sekitar 2 mg/dL.

b. Ikterus patologis Ikterus menjadi patologis jika kondisi ini dapat terlihat dalam 24 jam, ketika kadar bilirubin meningkat sebanyak 5 mg/dL dalam 24 jam, ketika kadar bilirubin >15 mg/dL, ketika peningkatan kadarnya berlangsung lebih dari 1 minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari 2 minggu pada bayi prematur, atau ketika bayi menjadi letargi dan kemampuan menyusu buruk.(Sinclair, 2009)

Etiologi
Bayi mengalami ikterus akibat :
a. Konsentrasi hemoglobin yang tinggi saat lahir dan menurun dengan cepat selama beberapa hari pertama kehidupan.
b. Umur sel darah merah pada bayi baru lahir lebih pendek dibandingkan sel darah merah orang dewasa.
c. Imaturitas enzim-enzim hati mengganggu konjugasi dan ekskresi bilirubin. (Lissauaer, Fanaroff, 2009)
Penyebab ikterus neonatorum menurut waktu kemunculannya :
a. Dua puluh empat jam pertama
    • Penyakit hemolisis
    • Inkompatibilitas rhesus
    • Inkompatibilitas ABO
    • Defisiensi G6PD Universitas Sumatera Utara 7
    • Sferositosis
    • Infeksi kongenital
b. Hari kedua-kelima
    • Fisiologis
    • Infeksi
    • Hematoma
    • Galaktosemia dan kelainan metabolik lain
    • Ikterus non-hemolitik familial
    • Bayi dari ibu diabetes
c. Setelah akhir minggu kedua
    • Ikterus air susu ibu (breast milk jaundice)
    • Hipotiroidisme
    • Hepatitis
    • Atresia bilier dan masalah traktus biliaris lainnya
    • Stenosis pilorus (Hull, 2008)

Patofisiologi 
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi dua fraksi: heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat yang tidak larut yang terikat pada albumin. Dihati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya enzim glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan adanya asam glukoronat menghasilkan larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukoronat terkonjugasi, yang kemudian diekskresi dalam empedu.Di usus, kerja bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang memberi warna khas pada tinja.Sebagian besar bilirubin terreduksi diekskresikan ke feses; sebagian kecil dieliminasi ke urin. Bila keterbatasan perkembangan atau proses patologis memengaruhi keseimbangan ini, bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaudis. Rata-rata, bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin dibandingkan orang dewasa karena lebih tingginya kadar eritrosit yang beredar dan lebih pendeknya lama hidup sel darah merah (SDM) (hanya 70 sampai 90 hari, dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan orang dewasa). Selain itu, kemampuan hati untuk mengkonjugasi bilirubin sangat rendah karena terbatasnya produksi glukoronil transferase.Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan-plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi albumin dibandingkan anak yang lebih tua.Perubahan normal dalam sirkulasi hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi hati. Normalnya, bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh flora normal usus dan diekskresi dalam feses.Akan tetapi, usus bayi yang steril dan kurang motil pada awalnya kurang efektif dalam mengekskresi urobilinogen.Pada bayi baru lahir, enzim ß-glukoronidase mampu mengonversi bilirubin terkonjugasi menjadi bentik tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh mukosa usus dan ditranspor ke hati. Proses ini, yang dikenal sebagai sirkulasi atau pirau enterohepatik, jelas pada bayi baru lahir dan diperkirakan merupakan mekanisme primer dalam patologi jaundis. (Wong, 2008)

Diagnosis
a. Anamnesis Riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemi dan pembesaan hati  dan limfa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat infesi maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia. (Herwanto, 2009)

b. Pemeriksaan fisik Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dL. Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis.Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009) Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher, dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumitpergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut, dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata. (Surasmi dkk., 2003)



Penatalaksanaan 
Penanganan hiperbilirubinemia bergantung pada penyebab dan beratnya gejala serta derajat anemia yang menyertainya. Strategi yang diterapkan berupa: a. Konversi bilirubin tidak terkonjugasi menjadi produk yang tidak berbahaya (fototerapi). b. Pengeluaran sumber bilirubin yang potensial (transfusi darah tukar). c. Inhibisi produksi bilirubin (melalui inhibitor heme oksigenase). Universitas Sumatera Utara 13 d. Mencegah beban bilirubin tambahan yang berasal dari sirkulasi enterohepatik. Setelah penyebab ikterus diketahui, kadar bilirubin dapat diperiksa secara serial. Hal ini penting pada penyakit hemolisis karena kadar bilirubin dapat meningkat dengan cepat. Hidrasi yang baik dan masukan kalori yang adekuat membantu organ hati mengkonjugasi bilirubin secara efisien.Hiperbilirubinemia dapat diobati dengan menggunakan fototerapi.Cahaya dengan gelombang 450 nm dari spektrum warna biru (bukan ultra violet) mengubah bilirubin tak terkonjugasi melalui fotodegradasi menjadi pigmen menyerupai biliverdin yang larut dalam air dan tidak berbahaya.Cahaya dengan panjang gelombang yang tepat dihasilkan oleh pipa flouresen atau lampu biru yang lebih khusus.Pengaturan suhu dan balans cairan harus diperhatikan. Jika terdapat risiko peningkatan kadar bilirubin ke tingkat yang berbahaya meskipun diberikan fototerapi dan tatalaksana yang disebut diatas, dilakukan transfusi darah tukar. Dalam prosedur ini, sejumlah 10 atau 20 ml darah ditarik keluar dan ditransfusi secara bergantian melalui kateter vena umbilikalis, hingga 60-70% sel darah merah bayi telah ditukar. Pada inkompatibilitas rhesus, transfusi tukar sering diperlukan segera setelah lahir, bahkan sebelum kadar bilirubin sempat naik. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan antibodi yang menyebabkan hemolisis dalam sirkulasi darah bayi. (Hull, Johnston, 2008).

Komplikasi 
Komplikasi terberat ikterus pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin atau kernikterus.Kernikterus terjadi pada keadaan hiperbilirunemia indirek yang sangat tinggi, cedera sawar darah-otak, dan adanya molekul yang berkompetisi dengan bilirubin untuk mengikat albumin. Adanya keadaan berikut ini, seperti hipoksemia, hiperkarbia, hiptermia, hipoglikemia, hipoalbuminemia, dan hiperosmolalitas dapat menurunkan ambang toksisitas bilirubin dengan cara membuka sawar darah-otak. Gejala ensefalopati bilirubin meliputi letargi, tidak mau makan, dan refleks Moro yang lemah.Pada akhir minggu pertama kehidupan, bayi menjadi demam dan hipertonik disertai tangisan bernada tinggi (highpitched cry).Refleks tendon dan respiratori menjadi depresi. Bayi akan mengalami opistotonus disertai penonjolan dahi ke anterior. Dapat mulai terjadi kejang tonik-klonik umum. Jika bayi dapat bertahan hidup, gambaran klinis ini akan menghilang dalam usia dua bulan, kecuali sisa kekakuan otot, opistotonus, gerakan iregular, dan kejang. Pada akhirnya anak tersebut mengalami koreoatetosis, tuli sensorineural, strabismus, kelainan pandangan ke atas, dan disartria. (Schwartz, 2004)

Kamis, 21 Februari 2019

HIPOTERMIA NEONATUS


PENGERTIAN

Hipotermia adalah suatu keadaan ketika bayi diletakkan di lingkungan yang lebih dingin dari suhu lingkungan netralnya, dan ketika bayi menggigil dapat meningkatkan penggunaan oksigen dan penggunaan glukosa untuk proses fisiologis (Ladewig, 2006, p.184). 

Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti kondisi fisik (Lestari, 2010, p.2). 

KLASIFIKASI
1) Hipotermia ringan, suhu <36,5oC 
2) Hipotermia sedang, suhu antara 32oC-36oC 
3) Hipotermia berat, suhu kurang dari 32oC

GEJALA
Gejala dan tanda hipotermia :
1) Gejala hipotermia bayi baru lahir: Bayi tidak mau menetek, bayi lesu, tubuh bayi teraba dingin, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras. 

2) Tanda-tanda hipotermia: 
a) Hipotermia sedang: Aktivitas berkurang, tangisan melemah, kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata), kemampuan menghisap lemah dan kaki teraba dingin. 
b) Hipotermia berat: sama dengan hipotermia sedang, bibir dan kuku kebiruan, pernafasan tidak teratur, bunyi jantung lambat, selanjutnya timbul hipoglikemi dan asidosis metabolik. 

ETIOLOGI
Faktor penyebab Penyebab utama terjadinya hipotermia, karena kurangnya pengetahuan tentang mekanisme kehilangan panas dari tubuh bayi dan pentingnya mengeringkan bayi secepat mungkin. Dan resiko untuk terjadinya hipotermia dikarenakan perawatan yang kurang tepat setelah bayi lahir, bayi dipisahkan dari ibunya segera setelah lahir, berat badan bayi yang kurang dan memandikan bayi segera setelah lahir. Dan faktor pencetus terhadap timbulnya hipotermia adalah faktor lingkungan, syok, infeksi, KEP (Kekurangan Energi Protein), gangguan endokrin metabolik, cuaca, dan obat-obatan (Wiwik, 2010, p.4).

Mekanisme kehilangan panas Bayi baru lahir tidak dapat mengatur suhu tubuhnya, dan dapat dengan cepat kehilangan panas apabila tidak segera dicegah. Bayi yang mengalami hipotermia beresiko mengalami kematian. Mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir terjadi melalui: 



Mekanisme Kehilangan Panas 
1) Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi pada saat bayi ditempatkan dekat benda yang mempunyai temperatur tubuh lebih rendah dari temperatur tubuh bayi, contohnya bayi ditempatkan dekat jendela yang terbuka 
2) Konduksi adalah kehilangan panas melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin, contohnya bayi diletakkan di atas timbangan atau tempat tidur bayi tanpa alas 
3) Konveksi adalah kehilangan panas yang terjadi pada bayi saat bayi terpapar dengan udara sekitar yang lebih dingin, contohnya angin dari kipas angin, penyejuk ruangan tempat bersalin 11 
4) Evaporasi adalah kehilangan panas karena menguapnya cairan ketuban pada permukaan tubuh setelah bayi lahir karena tubuh tidak segera dikeringkan.

PENATALAKSANAN
Penatalaksanaan Hipotermia pada bayi baru lahir: 
Untuk mengatasi bayi yang mengalami hipotermia adalah dengan membersihkan cairan yang menempel pada tubuh bayi seperti daran dan air ketuban, membungkus bayi dengan selimut yang telah dihangatkan dan meletakkannya di dalam inkubator, kemudian pindahkan bayi menempel pada dada ibu, atau sering disebut sebagai metode kanguru (Ladewig, 2006, p.185). 

Apabila kondisi ibu tidak memungkinkan, karena ibu masih lemas pasca bersalin, segera keringkan bayi dan membungkus bayi dengan kain yang hangat, meletakkan bayi dekat dengan ibu, dan memastikan ruangan bayi cukup hangat (Wiwik, 2010, p.5) 13 i. 

Cara mempertahankan kehangatan pada bayi Berikut adalah cara mempertahankan kehangatan tubuh bayi (Yaniedu, 2011, p.2): 
1) Mengeringkan bayi dengan seksama, selimuti tubuh bayi, dan tutup kepala bayi 
2) Menganjurkan ibu untuk memeluk bayi dan menyusui bayi
3) Sebaiknya menimbang bayi, apabila sudah mengenakan baju, dan menunda memandikan bayi 6 jam pasca lahir 
4) Menempatkan bayi di ruangan yang bersih dan hangat 

Cara mengukur suhu tubuh Cara mengukur suhu tubuh bayi pada aksila, adalah sebagai berikut (Lestari, 2010, p.3): 
1) Gunakan termometer yang dapat mengukur suhu sampai 32oC 
2) Menggunakan termometer yang bersih 
3) Mengupayakan bayi tetap hangat selama pengukuran dilaksanakan dengan menyelimuti bayi dan meletakkannya diatas permukaan yang hangat 
4) Meletakkan bayi dalam posisi terlentang 
5) Turunkan suhu termometer sebelum digunakan, sampai angka di bawah 35oC 
6) Meletakkam ujung termometer pada apeks aksila (ketiak) dan rapatkan lengan ke badan bayi atau silangkan lengan didepan dada selama minimal 3 menit, atau pada anus bayi dan ukur selama 1menit 
7) Melepaskan termometer dan mambaca hasil suhu 
8) Setelah selesai basuh termometer menggunakan air klorin 0,5%, air sabun, kemudian ke air bersih dan lap menggunakan kain bersih. 


SELAMAT BELAJAR DAN MENGAMALKANNYA ... 

ASFIKSIA NEONATORUM


DEFINISI 

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:
1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis
2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3
3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia ensefalopati)
4. Gangguan multiorgan sistem. (Prambudi, 2013).

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin (Grabiel Duc, 1971).

PATOFISIOLOGI

Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi
pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat
dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat
diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.

a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk
mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala
dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal,
aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut
apnea primer.

b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis
karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas
otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat,
kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi
penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan
memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi
yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak akan terjadi.
11

c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun
di bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit
meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan
menurun dan hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung
terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk,
metabolisme selular gagal, jantungpun berhenti. Keadaan ini akan
terjadi dalam waktu cukup lama.

d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan
pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun
demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung,
mengalami penurunan tajam selama apnea terminal.

e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea
primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan.
Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea
terminal.

ETIOLOGI

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :
a. Faktor ibu
1) Preeklampsia dan eklampsia
2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
3) Partus lama atau partus macet
4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,HIV)
5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat
1) Lilitan tali pusat
2) Tali pusat pendek
3) Simpul tali pusat
4) Prolapsus tali pusat.

c. Faktor bayi
1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
3) Kelainan bawaan (kongenital)
4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)(DepKes RI, 2009).

Towel (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan
pada bayi yang terdiri dari :
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia dalam.
Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan
demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat, (b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lainlain.

2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak
pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta danlain-lain.

3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas
antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali
pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.

4. Faktor neonatus
Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu : (a) pemakaian obat anastesi/analgetika yang
berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, (b) trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intrakranial, (c) kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia
paru dan lain-lain (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985).

DIAGNOSIS

Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan
pemeriksaan sebagai berikut :

1. Denyut jantung janin.
Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per menit;selama his frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi
kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekeunsi turun
sampai di bawah 100 per menit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik
elektrokardiograf janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam persalinan.

2. Mekonium di dalam air ketuban.
Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi – kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan
harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin.
Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai
tanda bahaya oleh beberapa penulis. 

Diagnosis gawat-jaanin sangat penting untuk daapaat menyelamatkaan dan dengan demikian membatasi morbiditas dan mortalitas perinatal.
Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu
diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut (Aminullah,2002).

PENATALAKSANAAN

Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa, walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder. 

Langkah-langkah resusitasi neonatus

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan:
Apakah bayi cukup bulan? 
Apakah bayi bernapas atau menangis?
Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

1. Langkah awal dalam stabilisasi
(a) Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bay garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini
adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan melakukan
penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter
menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila
terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan
frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkahlangkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam
trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada
bayi tanpa mekoneum.
(d) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan padaposisi yang benar Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan
sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau
menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu
sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak
kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara
simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan
putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya.

2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.
Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai.
Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.
Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah
nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya
compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai
pengukuran tekanan.
Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan
paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal.
Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas
panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang
berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan pneumothoraks.

 Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai
sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin
disebabkan masuknya udara ke dalam lambung.
 Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan
menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru
merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.
26
 Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu
berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas
balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan
oleh salah satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang
sempurna, arus udara terhambat, dan tidak cukup tekanan.
Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang
berkembang sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi
pipa-balon (Saifuddin, 2009).

3. Kompresi dada
 Teknik kompresi dada ada 2 cara:
a. Teknik ibu jari (lebih dipilih)
o Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan
melingkari dada dan menopang punggung
o Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan
konsisten
o Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan
tekanan perfusi coroner

b. Teknik dua jari
o Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan
menekan sternum, tangan lainnya menopang punggung
o Tidak tergantung
o Lebih mudah untuk pemberian obat
c. Kedalaman dan tekanan
o Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada

o Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah
jantung maksimum

d. Koordinasi VTP dan kompresi dada
1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik
Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti
120 kegiatan per menit)
Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi
yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan “satu – dua – tiga
- pompa-…” (Prambudi, 2013).